Kamis, 06 Desember 2012

Ketika Trotoar menjadi Lahan Rejeki bagi Pedagang Kaki Lima



                                                                        Pendahuluan


            Pedagan Kaki Lima atau biasa yang lebih dikenal dengan istilah PKL adalah pedagang yang biasa menjual atau membuka gerai/ warung/ lapak dagangannya di pinggir badan jalan (trotoar). Disebut pedagang kaki lima karena pada dasarnya para pedagang tersebut kebanyakan menjual barang dagangannya menggunakan gerobak yang mempunyai roda 3. Sehingga apabila di analogikan, 3 roda tersebut sebagai kaki tambahan bagi para pedagang itu sendiri. Akhirnya tersebutlah sekarang Pedagang Kaki Lima sebagaimana yang kita kenal.
            Isue pedagang kaki lima yang marak sekarang terjadi di realita bisnis menengah kebawah sebetulnya bukan hal baru lagi. Karena sejak zaman kolonial Belanda pun pedagang yang berdagang di pinggir jalan sudah ada. Namun dahulu istilahnya adalah pedagang emperan jalan, bukan PKL.
            Keberadaan para PKL tersebut sebetulnya mengganggu, karena wilayah badan jalan (trotoar) yang seharusnya digunakan oleh pejalan kaki untuk lewat lalu lalang, terpaksa tak bisa dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Dari situlah juga sering terjadi kemacetan. Kendaraan-kendaraan yang jalan, terpaksa pula harus mengalami kemacetan karena para PKL yang terlalu banyak mengambil badan jalan hingga kadang sampai memakan tempat are jalan utama, atau melewati batas trotoar. Namun di lain sisi, keberadaan PKL juga memberikan manfaat bagi para pengguna jalanan ketika harus membeli sesuatu (misal, minuman) yang otomatis para pengguna jalanan tidak harus repot-repot untuk menacri minimarket untuk membeli sebuah minuman. Harga yang ditawarkan atau dipatok oleh para PKL pun jauh lebih murah dengan harga pada minimarket.
            Dari proses transaksi jual beli dijalanan itulah para PKL mencari nafkah dan mendapatkan rejeki penghasilan. Rasanya sedikit manusiawi juga ketika kita harus memandang para PKL dijalanan dengan pandangan sebelah mata. Toh, mereka pun melakukan sebuah pekerjaan yang halal. Namun cara bekerjanya saja yang belum benar, dan perlu pembinaan untuk membenarkannya.


a. Pedagang Kreatif Lapangan
            Pedagang kaki lima selalu dikaitkan dengan sebuah kemacetan yang terjadi di jalanan. Khususnya di jalan raya kota-kota besar. Seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, lagi-lagi kemacetan yang ada salah satu faktornya yaitu karena banyak PKL yang memanfaatkan badan jalan (trotoar).
            Bagi yang Pro dengan keberadaan PKL, atau bagi sebagian orang keberadaan PKL justru memberikan solusi kebutuhan di jalanan, mungkin mereka tak merasa terganggu dengan adanya PKL-PKL tersebut. Tapi lain ceritanya bagi yang Kontra terhadap keberadaan PKL, dan merasa terganggu dengan adanya PKL, mungkin mereka akan mengeluh. Dengan unsur ketergangguan dan ketidaknyamanan tersebut, maka kerap kali para pedagang kaki lima mengalami pengusiran dan pengejaran oleh petugas karena mempergunakan area bisnis yang tidak sesuai dengan tata ruang perkotaan. Pro dan Kontra terhadap PKL itulah yang menjadi poin dalan sisi sosial.
            Karena pada dasarnya, para PKL tersebut pun bekerja dengan cara halal bahkan giat berjuang unuk keluarga, namun harus dihantui setiap saat oleh bayang-bayang petugas atau aparat pula.
            Berkembang belakang ini, Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha Kementrian Koperasi dan UKM, Ikhwan Asrin. Menyatakan bahwa patut dihargai untuk para pengusaha tangguh, dalam hal ini para PKL. Karena mereka dapat berjuang dan bertahan dalam usaha atau bisnisnya, padahal tidak ada lembaga permodalan yang membiayai usaha mereka. Secara tidak langsung para PKL disebut sebagai pelaku bisnis yang mandiri. Maka, untuk mengkonotasikan derajat positif para PKL, akronim yang digunakan bukan lagi pedagang kaki lima melainkan “Pedagang Kreatif Lapangan”.
            Jumlah pedagang mikro semacam PKL ini sudah mencapai 11 Juta orang berdasarkan data Asosiasi Pedagang Pasar Se-Indonesia (APPSI), dari jumlah tersebut apabila para PKL diarahkan dan dibimbing lalu diberdayakan, maka dampaknya akan sangat dahsyat terhadap perekonomian daerah dan nasional.
            Untuk meningkatkan kualitas hidup PKL, ada baiknya pejabat daerah menyediakan lahan bagi mereka. Agar tercipta suasana yang nyaman, baik bagi para pengguna jalanan, maupun bagi para PKL itu sendiri. Karena tujuan utama PKL berdagang yaitu hanya berupaya mencari uang demi hidup keluarganya. Tetapi tetap saja ada yang sering berpandangan negatif terhadap para PKL, karena mereka berkutat selalu dnegan jalanan yang identik dengan tingkat kriminalitas yang tinggi.



b. PKL vs Satpol PP
            penertiban para PKL dijalanan seringkali bersifat tidak manusiawi. Tak hanya adu mulut yang sering terjadi, namun adu fisik pun kadang tak terelakkan antara PKL dengan Petugas Satuan Polis Pamong Praja (Satpol PP). Hal ini pun sering membuat situasi menjadi dramatisir, dimana masing-masing pihak tetap kuat dengan kemauannya.
            Pada dasarnya para PKL tersebut tidak menolak untuk ditertibkan apabila ada penertiban, namun mereka meminta untuk tetap diperbolehkan berjualan dikawasan tersebut. Tetapi tingkat arogansi para aparat kadan terlalu tinggi, dimana sering membongksr paksa lapak-lapak para PKL. Sehingga tak jarang banyak barang dagangan dari para PKL tersebut rusak. Ujung-ujunnya timbul masalah dan keributan yang baru, dimana para PKL menuntut ganti rugi atas barang dan peralatan jualan yang rusak karena aksi penertiban paksa.


Penutup

            Dalam segi sosial, kita tidak boleh memandang sebelah mata atas keberadaan para PKL tersebut. Terlebih tak boleh kita menutup mata kita dengan kehadiran mereka. Karena sejatinya para PKL tersebut pun bekerja dengan cara yang halal, tetapi belum tepat cara bekerjanya.
            Maka dari itu, tugas pemerintah daerah untuk memberdayakan para PKL dengan baik. Agar terjadi sinkronitas dan relevansi yang harmonis antara para PKL dengan PemDa.
            PemDa juga perlu menyediakan sebuah area yang strategis untuk proses dan tahap pemberdayaan, pembinaan bagi para PKL tersebut. Sehingga apabila menggelar aksi penertiban, tak harus dilakukan oleh para aparat dengan sikap arogan dan tidak manusiawi. Hal itu hanya akan memicu ketegangan sosial saja. Toh dengan cara penyampaian yang baik, bijak dan sopan pun dapat dilakukan, jadi kenapa harus memilih dengan cara yang kasar. Para PKL pun dapat diajak bicara dengan baik-baik pula, jika kita menyampaikannya dengan baik.


Daftar Pustaka



Posisi Outsorching di Mata Hukum





Pendahuluan
            Dewasa ini penggunaa outsorching (Alih Daya) semakin marak terjadi di Indonesia. Seakan-akan outsorching sebagai “kebutuhan” bagi para pelaku bisnis. Khususnya untuk perusahaan yang memproduksi barang/jasa. Kebutuhan tersebut semata-mata muncul karena adanya persaingan usaha yang semakin ketat. Dimana setiap perusahaan dituntut untuk menghasilkan output atau memaksimumkan produktivitas agar perusahaan mendapatkan profit atau keuntungan. Untuk meraih keuntungan tersebut, mau tidak mau pihak perusahaan harus selalu fokus dalam berkompetensi. Hal itu dilakukan agar perusahaan tidak sekedar menghasilkan output yang biasa-biasa saja. Namun harus memproduksi output berupa barang/jasa yang berkualitas, bermutu, dan dapat bersaing dengan produk perusahaan lainnya.
            Dengan kondisi seperti itulah, pada akhirnya jalan outsorching menjadi solusi sementara bahkan menjadi sebuah trend ekonomi produksi dalam sebuah perusahaan. Tetapi permasalahannya adalah bagaimana posisi atau tempat outsorching itu sendiri berdiri di mata hukum. Sehingga sekarang ini banyak perselisihan mengenai sistem alih daya yang dituntut oleh para serikat pekerja untuk dihapuskan.


Penggunaan Outsorching dan Posisinya dalam Hukum
            Menurut  Mourice F Greaver ii, pada bukunya Strategic Outsorching, A Structured Approach to Outsorching : Decisions and Initiatives, yang menjabarkan Outsorching sebagai berikut:
“Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces”.
Dalam pengertian lain, outsorching (Alih Daya) adalah suatu tindakan pendelegasian beberapa kegiatan bisnis kepada suatu badan penyediaan jasa. Dimana badan penyediaan jasa tersebut melakukan proses adminitrasi  dan manajemen berdasarkan ketentuan yang telah disepakati oleh berbagai pihak.
            Terdapat 70% perusahaan yang menggunakan tenaga outsource. Kebanyakan dari perusahaan-perusahaan tersebut bergerak dalam bidang industri, baik tekstil, jasa makanan maupun minuman, dll.
            Berlakunya outsourching di Indonesia didasarkan oleh beberapa hukum yang mengaturnya. Hukum yang mengatur terbentuknya outsorching yaitu terdapat dalam:
·         Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 (pasal 64, 65, dan 66). Yang dikatakan pada pasal 64, pengertian outsorcing adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
·         Selain itu dalam pasal 1601 b KUH Perdata juga dijelaskan bahwa outsorching disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan.
·         Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep. 100/ Men/ VI/ 2004 Tahun 2004 tentang ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu (Kepmen 100/2004).
·         Outsorching juga diatur dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep. 101/ Men/ VI/ 2004 Tahun 2004 tentang tata cara perizinan perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh (Kepmen 101/2004).
·         Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 220/ Men/ X/ 2004 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain (Kepmen 220/2004).

            Dengan dasar-dasar hukum yang telah disebutkan seperti yang diatas, maka sistem outsorching dibolehkan dalam kegiatan produksi sebuah perusahaan. Dengan catatan pula, semuanya telah diatur sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tidak boleh merugikan pekerja/ buruh.




Perlunya Perjanjian Tertulis agar Jelas

            Dalam beberapa bulan terakhir sering terjadi demontrasi pekerja yang menuntut keadilan haknya, termasuk yang menjadi poin tuntutan adlaah penghapusan sistem kerja kontrak dan alih daya (Outsorching). Seperti yang terjadi di Cimahi (9/10), ribuan buruh PT Kahatex menggelar aksi unjuk rasa di depan pintu masuk perusahaannya. Sekitar 2.500 buruh ikut dalam aksi tersebut, dari jumlah buruh keseluruhan sebanyak 11.000 buruh.
            Untuk menggapai masalah-masalah demonstrasi serikat pekerja yang semacam itu, maka tanggapan pemerintah melalui juru bicara Kepresidenan, Julian Pasha mengaku akan senantiasa mendengar aspirasi para buruh yang melakukan aksi demonstrasi. Terkait masalah tersebut, telah di instruksikan agar Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menekertrans), Muhaimin Iskandar bekerja optimal untuk memenuhi aspirasi buruh mengenai Outsorching.
            Karena pada dasarnya menurut peraturan pemerintah, outsorching hanya diperkenankan untuk lima bidan pekerjaan saja yaitu cleaning service, keamanan, transportasi, catering dan pemborongan pertambangan. Kemudian untuk perusahaan outsorching yang menyengsarakan pekerja, melanggar UU No. 13 /2003 dan tidak sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi maka harus dicabut perizinannya. Namun kendati demikian, agar tidak terjadi penyimpangan keadilan dan tidak mencari yang salah dalam polemik demonstrasi outsorching yang kerap terjadi akhir-akhir ini, maka perlu disarankan untuk menggelar pertemuan tripartit antara pemerintah, pengusaha dan buruh untuk mencari solusi permasalahan tersebut.
            Selain itu, perlu susunan perjanjian kerja tertulis dalam hubungan ketenagakerjaan. Dimana perjanjia kerja itu sendiri berarti perjanjian pengikat diri antara pekerja dengan pengusaha. Bahwa pekerja menyatakan kesiapan untuk melakukan pekerjaan dan pengusaha menyatakan kesediaan untuk membayar upah dan hak-hak pekerja lainnya. Dengan begitu muncul asas tentang “Hak dan Kewajiban” yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak.
            Di dalam UU No. 13 Tahun 2003 pun dijelaskan tentang definisi perjanjian kerja, tujuannya diberlakukan perjanjian kerja yang diatur dalam UU adalah untuk memberikan perlindungan kepada pekerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarga. Menurut Undang-Undang, perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Apabila tertulis, maka perjanjian kerja tersebut memuat antara lain:

  1.    .     Nama, jenis usaha dan alamat perusahaan,
  2.         Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja,
  3.         Jabatan atau jenis pekerjaan,
  4.       Tempat pekerjaan,
  5.         Besar upah dan cara pembayarannya,
  6.         Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja,
  7.         Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja,
  8.          Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat, dan
  9.            Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Sedangkan ketentuan mengenai perjanjian kerja untuk pekerjaan dalam waktu yang tak menentu, hak dan kewajiban pekerja, serta kewenangan dan hak pekerja, perlu dimuat dengan jelas dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
            Perjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha untuk melaksanakan pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu tertentu yang relatif pendek. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), paling lama dua tahun, dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama sama dengan waktu perjanjian kerja pertama, dengan ketentuan seluruh waktu perjanjian tidak boleh  melebihi waktu tiga tahun. Misalnya PKWT satu tahun, dapat diperpanjang hanya satu kali maksimum satu tahun, PKWT 1,5 tahun dapat diperpanjang selama 1,5 tahun. PKWT dua tahun dapat diperpanjang hanya satu tahun menjadi seluruhnya 3 tahun.
            Poin akhir untuk mencegah terjadinya perselisihan dalam Outsorching (alih daya) yaitu perlunya juga penafsiran mengenai konsep dan pengertian usaha pokok atau Core Business. Dimana dua konsep tersebut berubah dan berkembang secara dinamis. Maka ada baiknya bahwa setiap perusahaan seharusnya terlebih dahulu menggolongkan apa yang menjadi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan setempat. Sehingga suatu hari nanti tidak akan muncul permasalahan yang berpicu atas tuntutan dari para pekerjaan outsorching tentang ketidakjelasan pembagian kerja pokok dan penunjang.


Penutup

            Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal penting untuk mencegah perselisihan-perselisihan dalam outsorching (alih daya), diantaranya pembentukan perjanjian kerja yang jelas antara pihak perusahaan dengan pihak pekerja outsorching.
            Selanjutnya perlu juga pengklasifikasian pembagian kerja, sehingga ketegasan dalam core business dan non core business terbangun sesuai dengan ketetapan undang-undang terkait pelaksanaan outsorching.


Daftar Pustaka
·         Buku
Prof. Dr. Simanjutak, Payman J. 2011. Manajemen Hubungan Industrial. Jakarta: LPFEUI

·         Koran
Pikiran Rakyat, Edisi 10 Oktober 2012

·         Internet
Vivanews, 03 Oktober 2012

Minggu, 02 Desember 2012

We Need Financial Planning



PENDAHULUAN
            Dimana sekarang, kebutuhan akan barang sekunder, tersier bahkan primer semakin meningkat, yang otomatis berpengaruh juga terhadap harga-harga dari macam-macam kebutuhan tersebut yang semakin mahal pula. Dari hukum ekonomi tersebut, masyarakat semakin menyadari betapa pentingnya perencanaan keuangan yang baik untuk memenuhi kebutuhan. Seperti biaya pendidikan anak, perencanaan kepemilikan rumah, biaya liburan, dan tujuan finasional lainnya.
            Tentunya kebutuhan-kebutuhan semacam itu harus direncanakan dengan baik dan ditempatkan pada tempat yang aman dan memberikan nilai yang dapt memenuhi tujuan finansional. Kalau sebuah perencanaan keuangan tidak segera dipersiapkan sejak awal, maka ketika kita sedang dihadapi dengan suatu kebutuhan yang mendesak, otomatis kita akan tergopoh-gopoh dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Bahkan kemungkinan besar kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi oleh kita.
            Jadi betapa pentingnya sebuah perencanaan keuangan, yang dibungkus dengan keahlian dalam memanage atau mengatur keuangan tersebut bagi kita dimasa yang akan datang.


We Need Financial Planning
            Semua yang ada dalam kehidupan kita ini perlu manajemennya, dari mulai manajemen pribadi atau diri, manajemen hubungan social, manajemen hubungan kerja, termasuk memanajemenkan keuangan.
            Manajemen keuangan adalah suatu perencanaan, penganggaran, pemeriksaan, pengelolaan, pengendalian, pencarian dan penyimpanan dana yang kita miliki.
            Dalam manajemen keuangan itulah kita butuh sebuah kegiatan perencanaan keuangan, dimana perencanaan keuangan sendiri bermakna sebuah proses untuk mencapai tujuan financial kita melalui manajemen keuangan yang hati-hati.
            Perencanaan keuangan diperlukan untuk menemukan arah yang jelas bagi keuangan  pribadi atau keluarga serta sebuah organisasi. Tanpa arah dan tujuan yang jelas, kita tidak akan dapat mengeluarkan keuangan kita dengan baik.
            Terlebih dengan berkembangnya gaya hidup kita yang sekarang ini semakin konsumtif, naiknya inflasi yang membuat kebutuhan di masa akan datang semakin mahal. Masyarakat pun ingin hidupnya berkesejahteraan karena banyak produk-produk investasi yang ditawarkan.
            Oleh karenanya, kita butuh sebuah perencanaan keuangan. Ada beberapa alas an yang lebih spesifik dalam mendasari kita menyusun rencana keuangan, diantarannya:
   a.  Untuk melindungi diri kita dan keluarga dari resiko keuangan dalam sebuah siklus kehidupan tentunya pada masa-masa naik dan turun dalam taraf kehidupan. Dimana situasi kehidupan kita pasti berhubungan dengan uang termasuk juga dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan masalah yang tergolong darurat, seperti saat kehilangan pekerjaan, sakit keras, kecelakaan, dll.
   b. Untuk melunasi hutang  Banyak diantara kita yang telah memilih investasi di pasar modal, property dan di bisnis lainnya. Namun masih banyak juga diantara kita yang memiliki hutang yang besar, terutama hutang konsumtif Maka dari itu kita perlu perencanaan keuangan untuk jalan keluar dimana pelunasan hutang-hutang tersebut.
   c. Untuk biaya membesarkan anak-anak Setiap orang tua tentunya tau yang terbaik bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, porsi yang cukup besar diperlukan untuk anggaran membesarkan anak-anak. Biaya-biaya tersebut meliputi biaya saat awal melahirkannya, memberikan gizi makanan, hingga memberikan pendidikan (pre school – ke perguruan tinggi). Setidaknya orang tua mengeluarkan anggaran untuk membesarkan anak-anaknya dapat berlangsung sekitar 20-25 tahun, sebelum anak-anaknya dapat membiayai dirinya sendiri.
   d. Untuk pembelian asset, dari kendaraan hingga rumah. Rumah adalah asset utama yang harus dimiliki oleh seseorang. Termasuk kendraan juga sebagai kebutuhan pelengkap yang harus dipenuhi oleh sebagian orang atau kalangan. Ketika kita berkeputusan untuk mempunyai niat memiliki rumah atau kendaraan pribadi, maka   ada anggaran atau dana tersendiri dalam perencanaan keuangan yang kita susun agar niat tersebut terpenuhi.
   e.  Untuk membiayai pembelian polis asuransi. Saat kita telah memiliki investasi dibidang properti, wajib adanya untuk kita agar melindungi nilai ekonomis dari investasi-investasi tersebut. Caranya yaitu dengan asuransi, namun asuransi tersebut tentunya didapat dengan cara kita membelinya. Sehingga penyisihan dana asuransi pun perlu dipikirkan dalam menyusun perencanaan keuangan.
   f.  Untuk bisa menikmati pensiun dan taraf yang nyaman. Setiap orang ingin pula masa tuanya menikmati taraf hidup yang nyaman. Oleh sebab itu, uang tabungan yang kita dapat dari hasil pengolahan perencanaan keuangan yang tepat dapat sangat membantu dimasa tua kita. Kita akan hidupn mandiri tanpa merepotkan anak-anak dalam hal pembiayaan.
   g. Untuk mewariskan kekayaan kita kepada anak-anak. Jika kita sudah memiliki perencanaan keuangan, maka   segala asset dan kekayaan kita seudah tertata untuk setiap tujuan. Termasuk mewariskan hasil kekayaan yang kita peroleh untuk anak-anak kita nantinya.

Langkah-langkah perencanaan keuangan meliputi:

 Ø  Menentukan tujuan keuangan kita
 Ø  Menghitung tujuan keuangan kita dan strategi untuk mencapainya
 Ø  Implementasi sesuai dengan waktu yang tersedia, dan untuk mencapai tujuan tersebut harus melihat kapan waktunya, termasuk resikonya
 Ø  Monitoring dan melakukan evaluasi secara periodic tentang rencana keuangan kita
 Ø  Revisi strategi dan perencanaan, ketika terdapat kebutuhan-kebutuhan yang terbaru


PENUTUP 
            Banyak manfaat yang dapat kita peroleh dalam penyesuaian perencanaan keuangan, atau financial planning. Salah sastunya yaitu membiarkan arah dan arti atas keputusan keuangan kita. Kita tidak tergopoh-gopoh dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dimasa yang akan datang, atau kebutuhan-kebutuhan yang bersifat darurat sekalipun.
            Maka dari itu, semakin dini kita memulai sebuah perencanaan, otomatis akan semakin baik, terutama pada saat usia kita masih produktif. Dengan demikian kondisi keuangan kita akan menjadi leih baik dengan waktu investasi yang panjang untuk mendapatkan hasil yang maksimal.



DAFTAR PUSTAKA

Majalah           : Sharing , Edisi 68 thn VI Agustus 2012
Internet           : www.asuransicerdas.com
                          www.Financial-detik.com